Tanah Yang Kaya Meski Dihempas Bencana
Tanggal 16 Agustus lalu saya dan istri saya, dr Tan Shot Yen berangkat menuju Lombok. Institusi kami Dr. Tan & Remanlay Institute bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) bekerja untuk membantu masyarakat Lombok Timur, di kaki gunung Rinjani dengan memberikan edukasi Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA). Berdasarkan pengalaman lapangan saat bencana Tsunami di Aceh 2004 dan gempa bumi, serta erupsi gunung Merapi, saya menuliskan dan mengumpulkan kembali bahan materi yg dulu pernah saya lakukan bersama kolega saya, Tan Li Anne, Instruktur Brain Gym dari Singapura. Keberangkatan menuju Sembalun Lombok timur kami tempuh selama tiga jam dengan melewati hutan yg diselimuti kabut tebal. Melalui jalanan yang berliku liku dan sempit cukup menegangkan saat jalanan curam dan tetiba ada mobil datang dari arah berlawanan, keluar begitu saja dari pekatnya kabut. Berkendara di jalanan ini membutuhkan pengalaman dan ingatan akan peta jalan yang akan dilalui. Sesekali kami melihat sekelompok monyet menunggu di pinggir jalan, seperti keheranan melihat kendaraan dan orang2 yg lalu lalang di jalan.
Pemandangan pertama akan adanya masyarakat mulai nampak saat kami melewati kabut terakhir yang memudar, dan kami disambut oleh gambaran rumah yg mulai retak dan yang roboh. Kami akhirnya tiba di posko WVI mulai melakukan perencanaan bersama dengan ketua tim dr. Hindrajanti. Lokasi pertama yang akan kami tuju adalah SDN 2 Sajang. Kami merencanakan untuk mengadakan perayaan 17 Agustus di sana. Persiapan samgat matang, Guru-guru, orang tua dan anak-anak menyambut dengan antusias. Acara kami mulai dengan melakukan upacara terlebih dahulu, sungguh terenyuh saat melihat anak-anak dengan baju seadanya, seragam yang tidak lengkap, semangat mengikuti upacara. Penghormatan saat Sang Saka Merah Putih berkibar memperlihatkan bahwa mereka tetap tabah dan kuat meski sedang dalam kondisi yg serba minim. Kami bukan hanya mengadakan perlombaan yang pada umumnya dilakukan dalam perayaan kemerdekaan, kami juga mengadakan penyuluhan kepada kader posyandu dalam bentuk membuat perlombaan membuat PMBA. Sungguh memgharukan dan menginspirasi melihat para Ibu-ibu kader yang juga penyintas tetap semangat untuk belajar dan mendengarkan penjelasan dr. Tan Shot Yen dan dr. Hindrajanti.
Di pojok kiri lapangan, selepas sholat jumat, saya memimpin pojok stimulasi dan senam otak. Cukup banyak anak-anak yang masih kesulitan melakukan gerakan silang, dan koordinasi yg kurang baik. Lalu saya mengajak mereka untuk menilai seberapa besarkah mereka masih takut dengan gempa. Dengan rentangan tangan mereka, dengan fasih gambaran takut itu mereka utarakan. Selanjutnya saya mengajak mereka untuk melakukan beberapa gerakan Brain Gym dan menutupnya dengan Emotional Freedom Technique (EFT). Selanjutnya anak-dengan wajah yang lebih ceria tidak lagi merentangkan tangannya, tapi hanya mengatupkannya di depan dada untuk menunjukkan seberapa kecil rasa takut mereka sekarang.
Tak kalah menarik kami melaksanakan lomba merangkak yg ditujukan untuk anak-anak usia 6 bulan hingga 1 tahun. Tujuan lomba ini adalah memberikan edukasi kepada orang tua apa pentingnya merangkak dan bagaimana memberikan stimulasi merangkak yang benar. Namun saya cukup terkejut karena dari begitu banyak anak yang ikut lomba hanya satu anak yg benar-benar merangkak, sementara ada anak-anak usia 7 bulan bahkan belum bisa berguling. Kami semua bersorak kegirangan saat anak-anak mulai mau merayap untuk pertama kalinya setelah di rangsang beberapa kali.
Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Mars Kemerdekaan, yang dipimpin oleh Ibu Guru. Mendengar lagu itu dinyanyikan oleh ratusan anak-anak dengan semangat sebagai penutupan sungguh menggetarkan kalbu, bahwa kami yang berbeda agama, suku, dan kepercayaan bersatu dalam solidaritas persaudaraan satu bangsa. Tanggal 18 kami merencanakan untuk melanjutkan program ke kemah pengungsian di Sajang. Kami memberikan pendidikan PMBA kepada orang tua, dan membuka dapur umum untuk mengajarkan kepada kader posyandu bagaimana menyiapkan PMBA. Dalam kesempatan ini saya juga memberikan pembekalan bagaimana memberikan stimulasi kepada anak untuk merayap dan merangkak tepat waktu. Setelah usai sambil menunggu masakan matang, seorang Ibu menghampiri saya, “Pak anak saya batuk dan demam, apakah ada obat?” Saya bertanya apakah sudah ke Dokter? Dia hanya berkata lirih dokter hanya datang seminggu sekali, puskesmas yang di dekat kemah sudah tidak ditinggali dan mulai kelihatan hancur. Saya lihat ke belakang ada tenda dengan tanda palang merah namun kosong tidak ada apa pun dan siapa pun. Beruntung saya telah menyiapkan diri dengan jarum akupunktur, alkohol dan sarung tangan untuk kondisi darurat, alhasil terjadi antrean panjang ibu dan anaknya yang sedang sakit. Sebelum saya pulang ke posko saya berucap lirih, bahwa besok saya akan datang lagi untuk melihat kondisi anak-anak mereka. Malam itu kami tidur di posko, sudah dua malam meskipun kami tidur di posko tapi kami tidur dalam kantung tidur kami di ruang keluarga, dengan pintu terbuka, berjaga-jaga bila terjadi gempa. Dan ternyata benar, tengah malam kami dikejutkan dengan gempa yang cukup besar menggetarkan plafon rumah, sontak kami semua lari menuju ke pekarangan di samping rumah. Malam itu kami benar-benar sulit tidur, selain berjaga-jaga bila ada gempa lagi, cuaca juga sangat dingin menembus kantung tidur kami hingga subuh tiba.
Pagi hari tanggal 19 di kaki gunung Rinjani sungguh indah, seakan-akan kekhawatiran dan kecemasan semalaman dalam kegelapan sirna oleh terangnya mentari pagi. Kami bersiap siap untuk kembali ke Sajang, karena kami akan mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk kami bawa ke posko pengungsi di Sajang, serta memberikan materi pengolahannya kepada kader Posyandu di Sajang. Saya sendiri kembali melakukan evaluasi dengan anak-anak yang kemarin saya berikan akupunktur, dan melegakan mendengar batuk dan demam mereka membaik. Sambal menunggu masakan matang, tiba-tiba seorang ibu datang meminta bantuan karena saudaranya terkena diare dan membutuhkan bantuan. Selain memberikan sesi akupunktur, dan memberikan oralit, sebagai tenaga kesehatan tradisional saya teringat bahan apa yang ada di desa Sajang, lalu saya bertanya pada suami beliau apakah ada pohon jambu biji? Dan beliau mengatakan ada dan menyanggupi untuk mengambil lima lembar daun terujung. Saya berpikir setidaknya ada sesuatu yang keluarga ini lakukan sementara tenaga kesehatan dan obat-obatan belum ada. Saya berpikir alangkah bagusnya bila di Negeri kita ini Tanaman Obat Keluarga (TOGA) kembali digalakkan, bukan hanya sebagai pertolongan pertama di keluarga, namun juga sarana pendidikan keluarga dan lingkungan akan kekayaan tanaman obat bangsa.
Pemberian makan siang PMBA sukses dan anak sangat menikmati, kami bersiap-siap untuk pulang ke posko kami karena sore harinya kami berencana untuk memberikan pengarahan bagi kader Posyandu di Sembalun. Saya mencari sopir kami tidak ada di tempat, sementara barang-barang harus kami pindahkan segera ke pos logistik di posko Sajang. Saya ambil inisiatif untuk mengemudikan mobil menuju pos logistik yang toh tak terlalu jauh. Saat saya akan menyalakan mesin, tiba-tiba alarm mobil berbunyi sendiri, saya agak tercenung bingung mengapa alarm bisa berbunyi sendiri, lima detik kemudian istri saya berteriak minta saya keluar dari mobil, dan mobil sudah bergoyang seperti di atas ombak. Saya keluar dari mobil dan bisa merasakan bagaimana tanah bergulung seperti ombak. Bukit Pegangsingan yang tak jauh di belakang posko Sajang mengeluarkan debu ke langit bak gunung meletus, dan sangat terlihat jelas. Semua orang berteriak histeris, membayangkan apa yang terjadi di dusun di balik bukit Pegangsingan. Orang-rang berlarian ketakutan, ada yang kembali ke kemah, ada yang lari tidak jelas ke mana, karena terpikirkan anggota keluarga yang ada di ladang.
Setelah agak tenang kami segera memilih untuk segera pulang, sementara sopir kami masih kelihatan bingung dan ragu, saya yakinkan dia untuk segera jalan menuju posko kami. Dalam perjalanan kami melihat bukit dan gunung yang tadinya tampak jelas dan indah dengan segala lekuk tanah dan belukar, semua kini tertutup dengan debu yang beterbangan ke segala arah akibat gempa. Kami yang tadinya berencana sore hari akan kembali ke Sembalun untuk bekerja, memutuskan untuk menghentikan aktivitas. Mengingat kondisi masyarakat yang sedang cemas paska gempa. Malam itu setelah evaluasi tim, kami putuskan untuk tidur di kemah di luar posko kami. Saat kami mulai terlelap, menjelang tengah malam kami semua dikejutkan dengan tanah yang tak hanya bergetar tapi bergoyang kiri kanan dan atas ke bawah, disertai suara gemuruh dari bukit di sisi kiri kami yang lari menuju gunung Rinjani di sisi kanan kami. Listrik padam, sehingga kami hanya bisa tidur saja di atas tanah, karena gempa yang kami alami bukan hanya sekali tapi 11 kali dalam semalam. Dalam situasi seperti itu orang-orang hanya dapat berteriak, istigfhar, dan hanya berserah diri saja. Karena berdiri pun sulit, terutama dalam kondisi gelap gulita tidak ada penerangan apapun. Malam itu kami benar-benar tidak bisa tidur, dan kami hanya bisa dapat melihat berita dari telepon genggam masing-masing bahwa gempa terjadi dengan pusat persis di mana kami berada dengan kekuatan 7 skala Reichter. Tim WVI di Mataram menghubungi tim untuk memastikan kami semua selamat. Kami berencana akan dibawa kembali ke Mataram esok siang tanggal 20 untuk tugas di Lombok Utara. Pagi itu situasi jauh berbeda, air makin sulit, listrik pun belum menyala. Yang sungguh menyentuh hati kami adalah para penyintas tempat di mana kami tinggal memiliki rasa persaudaraan yang tinggi, mereka masih menanyakan kepada kami, “Bu Dokter dan Bapak mau sarapan apa?” mereka yang dalam kesusahan masih memikirkan orang lain.
Siang harinya tim WVI sudah datang menjemput, dengan dua mobil, karena situasi jalan akses ke Sembalun yang terputus setengah jalan, sehingga perlu ada mobil cadangan. Sedih rasanya kami harus meninggalkan Sembalun, separuh hati kami masih ada di sana. Kami merasakan masih memiliki karya yang belum tuntas untuk masyarakat di sana. Sesampainya kami di Mataram, kami sudah menyiapkan rencana apa yang akan kita lakukan untuk tanggal 21 nanti, kami akan menuju Lombok Utara menuju area yang mengalami banyak kerusakan infrastruktur. Di tengah-tengah persiapan menyambut Idul Adha, penyintas masih antusias terlibat dalam edukasi PMBA sekaligus memraktikkan apa yang telah dibahas. Anak-anak pun antusias membaca buku dari perpustakaan keliling yang kami bawa dari Mataram.
Sepulang kami dari Lombok ada banyak hal yang menjadi permenungan kami, di tanah yang kaya dengan bahan pangan alam yang sehat, banyak masyarakat justru berpaling ke makanan kemasan atau instan. Terlebih dalam kondisi bencana alam, posko penyintas dipenuhi berkardus kardus makanan instan, dan tidak banyak dapur umum dilirik atau dibangun. Anak-anak berlarian saat sukarelawan yang minim pengetahuan gizi membagikan semua makanan kemasan. Banyak kader menjadi terkejut saat anak-anak mereka menikmati PMBA yang berisikan bahan alam mereka seperti jagung dan ubi, dan mereka baru menyadari seperti apa rasa jagung dan ubi yang asli, yang selama ini hanya dimakan dalam bentuk keripik atau goreng. Pendidikan sangat penting untuk memajukan Indonesia, tanggapan beragam dari penyintas saat menghadapi bencana, dari yang hanya membutuhkan bahan jadi dan dibantu diberi ikan, hingga yang haus akan kail bukan ikannya saja, haus akan ilmu yang dapat bermanfaat bagi sesama. Sesampai kami di Jakarta pekerjaan belum selesai, saya dengan tim Perhimpunan Brain Gym® Indonesia (PBGI) terus mengadakan edukasi bagi relawan yang akan berangkat ke Lombok atau kemanapun yang ingin belajar materi untuk mengatasi trauma. Doa kami untuk penyintas di Lombok, semoga segera pulih, bangkit, dan kembali beraktivitas dalam hidup ini.
Comments
Post a Comment